Kusibak tirai
jendela kamar dengan cahaya temaram lampu di teras rumah. Bunga-bunga dalam
pot-pot warna-warni yang berjejer rapi dan tergantung di pagar kecokelatan itu
layu. Suara kran air membangunkanku yang hampir saja terlelap. Sebersit rasa
bersalah hinggap begitu saja ketika kuintip Mama yang tengah menyiram
bunga-bunga di halaman di malam yang sudah selarut ini sepulang kerja. Saat
pagi-pagi sekali, Mama akan pergi terburu-buru seperti biasanya.
“Jangan lupa kau siram bunga-bunga dalam
pot-pot itu, matikan kran air setelah kau selesai melakukannya. Ingat Nggi!
Abaikan lelaki di balik pagar!” teriak Mama sebelum benar-benar menghilang dari
pandangan. Tapi, hal itu tak benar-benar kulakukan. Alasannya masih sama, semua
ini karena laki-laki itu.
***
Hari Minggu. Seperti biasa, aku dan Mama
akan menghabiskan pagi dengan sarapan selapis roti selai cokelat, segelas susu,
sembari memperbincangkan banyak hal selama sepekan ini. Minggu ialah hari indah
untuk kami bersama. Jadwal Mama akhir-akhir ini semakin padat. Namun, aku
mencoba mengerti akan hal itu.
“Sudah
dua hari kau tak menyiram bunga-bunga dalam pot-pot pelangi itu dan...” Mama
menghentikan ucapannya, mengintip dari jendela pada kran air di sudut halaman
sana. Rupanya Mama memastikan kran itu tertutup rapat. “Kau selalu lupa
mematikan kran air, biaya listrik mahal Nggi, kita harus lebih berhemat” lanjut
Mama. Aku mengangguk.
“Tapi, Anggi tidak akan seperti itu jika
lelaki itu tidak terus menerus mengganggu.” Sergahku yang tak ingin disalahkan
sepenuhnya. Mama menghela napas.
“Anak itu memang sedikit berbeda, tapi
dia tidak berbahaya, selama bertahun-tahun kita bertetangga dengannya tidak
pernah ada masalah, bukan?” Mama kembali mengunyah roti itu, kemudian meneguk
segelas susu.
“Tapi,
aku tidak suka dia Ma!” kataku cemberut.
Bahkan aku tidak menyukainya sedari kecil
dulu. Meskipun kami bertetangga dan besar di tanah yang sama. Namun, aku tidak
terlalu dekat dengannya. Sejak kecil, aku dan teman-teman yang lain selalu
menghindar akibat sikapnya yang aneh. Seringkali ia mengganggu kami ketika
bermain, berteriak tak jelas, merusak mainan kami, dan hal-hal aneh lainnya.
Caranya tertawa, datar seperti tanpa ekspresi. Kami semua tidak pernah
menyukainya.
Dulu, saat aku melewati halaman rumahnya
ke sekolah, kerapkali ia akan duduk dengan pakaian basah di hadapan kran air,
tangannya terampil memutar-mutar gagang kran. Apakah ia tidak sekolah? Pernah
kutanyakan hal itu pada Mama yang kerap kali berbincang dengan Bunda Dani saat
belanja pada penjual sayur keliling. Ternyata lelaki aneh itu sekolah privat di
rumahnya.
Suatu hari, ada sisi lain dari lelaki
aneh itu yang membuatku dan teman-teman tak percaya. Ia mampu membuat lampu
menyala dengan menancapkan paku dan koin logam serta kabel-kabel yang terpasang
dalam buah lemon. Kemudian ia menjelaskan dengan teori fisika yang tak dapat
kami mengerti. Kami semua hanya bisa bertepuk tangan dan berdecak kagum.
Lalu saat SMP, orang tuanya mulai
mempercayainya untuk menyekolahkannya di sekolah umum. Kami di sekolah yang
sama namun dalam kelas berbeda. Ia adalah lelaki penyendiri yang membosankan.
Namun, prestasinya yang mencengangkan di sekolah membuatku dan
teman-teman menggelengkan kepala tak percaya.
Berlanjut pada masa SMA, lagi-lagi kami
kembali satu sekolah dan kali ini dalam kelas yang sama. Kini, julukan lelaki
aneh itu sudah nyaris memudar tergantikan julukan si jenius. Ia benar-benar
membuatku ternganga ketika berhasil memecahkan soal aljabar yang sangat
menyulitkan dalam waktu yang singkat. Ia bahkan bisa mengalahkan Glen, sang
juara umum sekolah yang sering mendengus kesal pada lelaki aneh itu. Ya. Aku
akan tetap menyebutnya lelaki aneh, meski sebersit rasa kagum itu mulai ada.
Atau, lebih tepatnya kasihan padanya.
Hingga suatu hari, untuk pertama kalinya
aku mencoba menawarinya jalan bersama ke sekolah. Membelanya ketika Glen dan
teman gengnya mencoba mengganggunya, bahkan aku juga bersikap baik untuk
menawarkan sebuah pertemanan, mengulurkan tangan ketika ia terjatuh dan
menawarkannya makanan buatan Mama saat bekal yang ia bawa hanya nasi bercampur
kecap.
Tapi, hari demi hari ia mulai tampak
semakin aneh, menampilkan senyum khasnya yang datar padaku dan mengatakannya
dihadapan seluruh penjuru kelas.
“Anggita jadilah pacarku, kumohon, kumohon..”
ucapannya dengan ekspresi datar, mengikutiku kemana saja sembari mengucapkannya
dengan berulang, membuat penghuni kelas tertawa membahana. Sejak itu, aku
benar-benar malu dan tak ingin berdekat-dekat lagi dengannya. Rasa benci saat
kecil bersemi kembali. Sangat mudah.
Suara geletuk gelas Mama menyadarkanku
dari lamunan panjang. Mama menatapku sejenak. “Anak Mama adalah gadis yang
baik, ia menyayangi dan menghargai sesama tanpa membeda-bedakan yang lainnya.
Berjanjilah Anggi tidak akan menyakiti orang lain lain dengan perkataan
demikian.” Ucap Mama yang hanya bisa membuatku tertunduk.
***
Kran air itu kuputar, namun, tak ada
setetespun air keluar. Aku dan Mama kebingungan bagaimana cara mengatasinya
padahal lampu masih menyala. Minggu pagi adalah rutinitas kami untuk menyiram
bunga-bunga itu. Halaman kami penuh dengan tanaman, hanya beberapa yang kami
taruh dalam pot yang tergantung berjajaran di pagar. Ada tujuh pot dengan tujuh
warna pelangi, mejikuhibiniu. Kata Mama, warna-warni pelangi itu akan
mempengaruhi suasana hati dan membuatku ceria.
Aku mulai mengerutkan kening ketika ada
seseorang di balik pagar kami, mudah saja kuterka itu siapa. “Halo... siapa
itu? Kemarilah Dani!” aku melotot mendengar reaksi Mama. Raut lelaki aneh itu
datar, seperti kebingungan mondar-mandir di depan pagar kami. Sekali lagi Mama
memintanya ke mari, barulah ia menghampiri kami. Aku mendegus kesal.
Pada kran air ia akan menengadahkan
tangannya untuk menampung setiap tetesannya. Hal itu sudah berlangsung sejak
lama. Semasa SMP, saat yang lain tengah bersenang-senang ketika olah raga,
bermain bola, kejar-kejaran, maka ia lebih senang menghabiskan waktunya
dihadapan kran air taman sekolah dengan tersenyum semringah. Ia akan mengambil
alih tugas Pak Kebun meski hanya terlihat seperti main-main air.
Seringkali saat jam masuk sekolah telah
tiba, kerah baju dan sekitar wajahnya telah basah. Tidak akan ada yang
menghiraukannya, kecuali aku. Mungkin. Entahlah, tingkahnya yang aneh selalu
membuatku memperhatikannya. Kupikir, ia merasa lebih nyaman demikian dari pada
harus berkumpul dengan kami.
“Sudah bisa di gunakan” katanya sembari
memutar gagang kran air itu. Air meluncur deras begitu saja. Kuperhatikan obeng,
tang dan alat-alat lain di tangannya. Ia memperbaikinya dengan mudah.
“Kau
sangat pandai sekali nak” ucap Mama sambil menyusupkan selang panjang itu pada
kran.
“Tidak.. tidak... kau terlalu memuji,
Bunda akan senang jika aku membantu orang lain” ucapnya dengan intonasi datar,
badannya selalu bergerak-gerak, berbicara tanpa menatap Mama. Aku tahu ia
tengah tersenyum meski terkesan datar. Ia diam-diam melirikku, tanpa ekspresi.
Aku mendengus kesal, terdengar keras malah. Bahkan ia tampak menyadarinya
hingga membuat rautnya tiba-tiba tertunduk.
“Apakah kau marah padaku? marah, marah?
Anggita marah?” ia terus bertanya berulang memastikan, kemudian kujawab
dengan membenarkannya dan mengungkapkan segala ketidaksukaanku padanya.
Tiba-tiba ia menghindar, lantas jatuh tersandung pada untaian selang. Mama
mencoba menenangkannya, tapi Dani malah menjatuhkan pot-pot bunga itu. Tak
hanya satu, ia menjatuhkan beberapa pot hingga pecah menimpa tanah. Kemudian
berlari-lari kecil dengan kaku menjauh sembari mengucapkan maaf yang berulang.
Wajahku hanya bisa memanas merasakan
tatapan Mama yang menghujam tak suka atas tingkahku tadi.
***
“Anggita... Anggita... Anggita...” ia
melompat-lompat di depan pagar. Aku berusaha tak menghiraukannya dengan terus
menyiram. Terus seperti itu hingga aku berhasil menyelesaikannya. Tak peduli
padanya yang ada di balik pagar. Kami kehilangan pot kuning, jingga dan hijau
yang telah pecah. Jadi, untuk sementara bunga-bunganya kupindah di tanah hingga
pot-pot baru dengan warna serupa menjadi penggantinya.
Sebenarnya kekesalanku semakin berlipat
padanya saat ia kembali berulah di sekolah. Ia mengejarku di sepanjang koridor
sekolah sembari berteriak-teriak, maka jadilah kami pusat perhatian. Hingga
saat kami berhenti di salah satu tempat, suara suitan dan tepuk tangan
terdengar sahut-sahutan. Kami di kelilingi banyak anak yang mengira kami akan
segera ‘jadian’. Aku tidak akan melupakan kejadian ini dan benar-benar akan
membenci lelaki aneh itu.
Dahiku mengkerut ketika yang bisa lelaki
aneh itu lakukan hanya menutup telinga kuat-kuat seperti orang yang tengah
ketakutan. Tubuhnya oleng beberapa kali hingga hampir terjatuh. Pandangannya
takut menyapu sekitarnya. Bergumam mengucapkan hal-hal yang tak bisa
kumengerti. Sedangkan teriakan anak-anak masih membahana. Tapi, aku tidak
peduli. Lantas menerobos kerumunan anak-anak dan meninggalkannya begitu saja.
“Kau masih marah? Lihat! aku akan
mengganti pot-pot bungamu, kumohon.” Ia masih belum tampak menyerah. Berbicara
padaku namun pandangannya entah ke mana. Dengan kesal kubuka gerbang hingga ia
tak perlu lagi melompat-lompat di balik pagar. Dia menyodorkanku tiga pot bunga
berwarna hijau. Kutampik pemberiannya dengan geram.
“Lihatlah! Warna pot-pot bunga itu
kusesuaikan dengan warna-warna pelangi” kutunjuk beberapa pot yang masih
tergantung di pagar. “Dan pot yang kau bawa, tak akan melengkapi warna-warnanya.”
Ucapku. Namun, sedetik kemudian bahuku tiba-tiba mengendur. Jika Mama ada di
sini, ia pasti tak akan menyukai tingkahku ini. Aku akan merasa bersalah jika
melanggar nasehatnya.
“Tapi hijau itu segar seperti dedauanan”
ucapnya menjelaskan.
Tiba-tiba aku kembali mengingat Mama. Aku
menghela nafas mencoba untuk bersabar. Kuraih pot bunga pemberiannya berusaha
menghargainya. Dan baru merasa lega ketika ia telah benar-benar pergi.
***
Aku sibuk meng-cat pot bunga itu atas
saran Mama. Dua di antaranya telah berubah menjadi warna kuning dan jingga. Aku
tersenyum puas, lantas kembali mengisinya dengan tanah dan tanaman setelah cat
itu mengering. Kemudian aku menggantungnya di pagar kembali. Tidak terlalu
buruk, pikirku. Tiba-tiba sebersit ide melintas. Aku bosan dengan cat pagar
yang sedari dulu berwarna kecokelatan. Bahkan, perubahan cuaca sedikit membuat
cat itu memudar dan mengelupas.
“Izinkan aku mengecatnya dengan warna
jingga yang cerah Ma” ucapku yang di jawab anggukan oleh Mama. Maka, cerahlah
pagar kami dengan warna itu. Perubahan yang sangat menyenangkan.
Sejak Dani memberikan pot-pot hijau yang
telah kuubah warna itu, ia tak pernah kembali lagi untuk bersembunyi di balik
pagar. Dan keanehan ini benar-benar membuatku nyaman ketika menyiram
bunga-bunga di halaman. Kran air itu sudah tak lagi bermasalah. Biasanya, kran
itu mampat atau bocor yang seringkali Mama pikir aku lupa menutupnya kembali.
Ini berkat tangan Dani yang memperbaikinya.
Tapi hari yang kunikmati tanpa kehadiran
lelaki aneh itu tak berujung lama. Tiba-tiba, ada hal aneh yang mengganggu
pikiranku. Aku sadar, hal itu bermula ketika aku mengganti catnya. Dani tidak pernah
menyukai warna jingga, itu sebabnya ia memilih mejauh. Cerita tentangnya
kudapat hari itu, saat aku dan Mama mengujungi rumahnya.
Ada duka mendalam di sudut mata Bunda
Dani di balik kerudung hitam yang ia kenakan. Ia menyeka sudut matanya. Dan itu
membuat tangisku turut membuncah.
“Maafkan aku tante, aku benar-benar tidak
tahu” ucapku akhirnya. Tante menggeleng. Tatapannya menerawang, “Dani adalah
lelaki yang sangat pintar. Sangat pintar. Aku bangga sekali padanya, sore hari
seperti ini, biasanya ia akan sibuk mengotak-atik perkakas memperbaiki segala
yang rusak, atau... sibuk menghitung tetes air di depan kran. Entahlah, ia
sangat menyukainya” butiran bening itu mengalir pelan di pipinya.
“Dani pengidap sindrom asperger. Banyak
orang menganggapnya aneh, bahkan gila,” Bunda Dani menggigit bibir sejenak. Aku
tertunduk.
“Tapi, hal itu tidaklah benar. Hanya saja
cara bicaranya terdengar datar dan cukup sulit bersosialisasi. Dia tidak pernah
berbohong dan selalu berterus terang. Dani tidak bisa memahami perasaan orang
lain dan kebingungan mengartikan setiap mimik muka yang ditujukan padanya. Itu
sebabnya Dani tak sadar jika apa yang telah ia lakukan sangat mengganggumu.
Maaf jika selama ini kau merasa tergaganggu atas sikapnya.” Mataku kembali berembun
lebat.
“Setiap kali ia melihat warna jingga,
maka ia akan merasa terancam. Itu sebabnya saat ia mengunjungi rumahmu yang cat
pagarnya telah berganti jingga. Ia berlari-lari ketakutan ke tengah jalan
hingga membuatnya tertabrak....” Bunda Dani tak melanjutkan, tergantikan isak
tangis yang kuat. Mama menyentuh bahu Bunda Dani mencoba menenangkannya.
“Dia juga tidak menyukai keramaian, itu
sebabnya kerapkali aku khawatir dan mengantarnya ke sekolah. Dulu aku sangat
senang saat kau mau menemaninya ke sekolah, mungkin itu bisa dikatakan terapi
untuk mengurangi rasa takutnya.” Tiba-tiba ingatanku beralih saat ia tengah di
kerumuni dengan tepuk tangan dan suitan waktu itu. Melihat betapa ketakutannya
ia.
Aku semakin sesak memikirkan ia yang tak
akan kembali lagi bersembunyi di balik pagar. “Ini salahku tante”
tangisku kembali lepas. Terlampau keras.
“Kau tak salah dan tak tahu apa-apa,
mungkin ini takdir yang harus kita terima” jawab Bunda Dani mencoba
menghiburku. Aku tak tahu apa-apa tentangnya? Pertanyaan itu terulang di
kepala. Tiba-tiba ada yang serasa meremas ulu hati. Tante salah, sebenarnya aku
yang merencanakannya meski tujuanku bukan mengharapkan kejadian ini. Aku sudah
tahu gerak-geriknya yang tak menyukai warna jingga sebelumnya. Mungkin saja, ia
akan menghindar jika aku mengganti catnya. Dan dugaan itu benar, hingga
kesalahan fatal yang tak kuinginkan ini terjadi.
Kusibak kembali tirai jendela kamarku
dengan cahaya temaram lampu di teras rumah, memperhatikan Mama yang kembali
menyiram bunga-bunga itu sepulang kerja. Lagi-lagi aku tidak menyiramnya.
Perhatianku hanya tertuju pada kran air, pot bunga dan pagar. Rasa sesal yang
sangat mendalam hinggap begitu saja. Dadaku semakin sesak dengan rasa
penyesalan. Seandainya waktu terulang kembali, bahkan aku tak tahu harus
memperbaikinya dari mana. Kupikir, kesalahanku terlampau banyak padanya. Kuusap
ujung mata perlahan. Wajah lelaki aneh itu tentu akan selalu melintas pada kran
air, pot bunga dan pagar setiap aku melihatnya.
***
Gogirl! Web Story, penayangan Sabtu, 5 Agustus 2017
By: Amina Sy
Catatan: Cerpen ini aku hasilkan di
Kelas Cerpen Remaja. Dengan tantangan barang-barang di sekitar rumah. Di antaranya
ada pot bungaa, kran air, pagar, ayunan, dan lainnya. Bingung awalnya mau buat
apa. Nulis mengalir saja, gak tahu ending-nya harus diapakan. Ide tentang sindrom
asperger terpikir di pertengahan menulis cerpen ini. Saat memikirkan
warna-warna pot bunga dan kran air.
Ya. Sebenarnya.
Aku terinspirasi pada sosok anak SMP. Kebetulan, di asrama (sekaligus pondok)
terdapat lembaga SMP juga. Di sana, saat jam mengajar berlangsung, salah satu
anak keluar kelas. Sibuk menyiram tanaman dengan selang. Ia memang berbeda dengan
teman-temannya. Meskipun begitu. Ia cukup pintar dan kreatif. Sungguh. Inilah ide-ide
yang terbesit dalam pembuatan cerpen ini.
Komentar
Posting Komentar