Tangan Rea terulur mengusap headline sebuah surat kabar.
Mulutnya sedikit ternganga. Tertulis di lembaran kesekian tentang seorang lelaki
yang keluar dari jeruji besi setelah beberapa tahun di bui. Semuanya sudah
terlewati. Ia bergumam lirih.
***
Ada senang, haru, rindu segala rasa berbaur menjadi satu. Beberapa
tahun, akhirnya mereka kembali bertemu. Acara wisuda telah selesai dilaksanakan.
Pada akhirnya Rea bisa bernafas lega juga. Bapak duduk di sebuah kursi panjang
bersama Rea dengan mata berkaca-kaca. Rea menceritakan tentang keberhasilannya
magang di salah satu perusahaan besar.
“Bapak bangga.” Suara itu terdengar
bergetar dan sendu. Tak banyak bicara, namun dua kata itu mampu menghangatkannya.
Ke dalam mata Bapak yang sayu, seolah-olah Rea bisa menerawang pada masa lalu.
Ada banyak kesedihan dan pengorbanan di sana.
Terutama sepeda ontel Bapak yang
terekam jelas dalam ingatan. Dengan sepeda itu, Bapak bisa mengayuh ratusan
meter membawa sekarung rumput segar yang akan ia jual pada pemilik peternakan
sapi. Salah satu sumber pendapatannya.
Subuh ia akan keluar dengan karung
yang kempis, lalu datang dengan sekarung rumput saat hari mulai terang. Dengan
sepeda ontelnya, ia mengayuh hingga ke peternakan. Namun tak selalu berjalan
mulus. Terkadang, rantai sepeda itu putus di tengah jalan. Membuatnya berjalan
kaki dalam jarak yang jauh. Jika begitu,
sekarung rumput itu tak laku akibat begitu banyaknya tukang-tukang rumput lain
yang datang lebih pagi. Membuatnya pulang tanpa sepeserpun upah.
“Bagaimana lagi, Bapak memberikan
sekarung rumput itu cuma-cuma. Kesulitan membawanya pulang dalam kondisi
seperti ini.” Kata Bapak terduduk. Rea menatapnya iba. Betapa lelahnya.
Malam adalah waktu terindah bagi
Rea. Saat suara jangkrik bersahutan. Ia dengan Bapak akan duduk di kursi
halaman. Cerita-cerita Bapak adalah hiburan yang paling menyenangkan.
“Kau tahu Rea, kau adalah harapan
Bapak satu-satunya. Belajarlah dengan baik!” ucapnya.
Cita cita terbesar Bapak adalah
menyekolahkan Rea. Ia tak ingin takdir hidup yang dijalani terulang pada anaknya
itu. Sejak Ibu meninggal, tanggung jawab yang diemban Bapak semakin besar. Ia
juga harus berperan sebagai Ibu bagi Rea.
Kembali, angin meniup lembut
kerudung Rea. Ia tersadar pada lamunannya. Wisudawan lain tengah berbincang
dengan orang tua masing-masing. Beberapa di antaranya terlihat mendapat ucapan
selamat dan hadiah. Bapak memperhatikan apa yang Rea lihat.
“Maaf tak membawa apa-apa.” Raut itu
tampak terlihat menyesal. Rea menggeleng cepat-cepat.
“Tidak apa-apa.” Rea tersenyum.
“Ngomong-ngomong, bagaimana Bapak bisa ke sini? Biaya transportasi dari mana?”
tanyanya. Sudut bibir Bapak tertarik ke samping. Menampilkan banyak kerutan
lain yang tampak semakin jelas.
“Pak Hanan menitipkan sepasang
kambing ke Bapak dan melahirkan dua anak kambing. Salah satunya untuk Bapak dan
telah terjual.” Tiba-tiba sudut Mata Rea berembun. Ia tahu. Bapak tak pernah
beruntung memelihara ternak itu. Banyak kejadian miris karenanya.
Dulu, Bapak pernah memiliki satu
kambing jantan besar. Rencananya,
setelah cukup umur, kambing itu akan dijual. Hasil dari jualan itu untuk
menanam pohon sengon di pekarangannya yang tak terlalu lebar. Sebagian lainnya
untuk biaya makan serta mengganti ban yang rusak.
Semenjak sepeda tak terpakai. Bapak merumput lebih pagi lagi.
Berjalan ratusan meter untuk dijual. Kadang, Bapak menjadi penyunggul hasil
sawah untuk di angkut ke truk di dekat jalan besar. Melihatnya tak tega, Bapak
sangat kurus. Untuk sekali menyunggul sekarung kentang saja telah membuatnya
terengah-engah.
Hanya kambing jantan itu harapan
mereka sementara.
Hingga suatu hari, Rea yang masih
duduk di bangku SMP, menerima tawaran Bimo.
“Hasilnya lumayan. Bisa buat membeli
buku dan uang jajan setiap hari.” Mendengarnya. Rea tertarik. Seperti
kebiasaannya, Bimo seringkali memancing ataupun meracuni ikan-ikan di sungai.
Tidak berbahaya asalkan takarannya pas untuk mendapatkan banyak ikan.
“Bagaimana caranya?” dengan
tersenyum, Bimo berbisik di telinga Rea.
Maka, sepulang sekolah, mereka sudah
siap dengan sebungkus serbuk yang digunakan untuk membuat ikan pusing. Itu
hanya pendapat Bimo. Tak membuatnya mati. Hanya jadi lebih mudah menangkapnya.
“Gunakan sedikit saja,” Rea mengangguk.
Berkali-kali Bimo mengingatkan.
Namun akhirnya, Rea memekik
tertahan. Sebungkus serbuk itu tumpah dan hanyut di aliran air yang cukup
deras.
“Tamatlah riwayatmu.” Ucap Bimo
ternganga. Di belakang sana, ada ratusan bebek Pak Ian berenang. Betapa
angkuhnya dia.
Karena itulah kambing Bapak ludes
sebagai ganti rugi. Memang, Bapak tak berkata apa-apa. Tapi Rea tahu bahwa
hatinya merana. Rea hanya bisa menangis. Pupus sudah harapan Bapak karenanya.
***
Kejadian itu tak menyurutkan hati Bapak.
Menjelang lulus SMA, Rea berencana melanjutkan pendidikan di bangku kuliah.
Bertahun-tahun, titipan ternak dari Pak Ian (setelah tragedi kematian bebek)
beranak pinak hingga siap dijual. Maka, sendirian Bapak memandu kambing-kambing
itu ke pasar. Menyerahkan pada supir truk yang berkata telah menghubungi Pak
Ian. Tentu saja Bapak percaya.
Setelah kambing terangkut dalam truk. Bapak hanya perlu menunggu. Lama.
Supir itu tak kunjung kembali untuk memberikan uang sesuai kesepakatan. Hingga
petang, Bapak hanya bisa pulang dengan berjalan kaki dan bulir air yang merebak
disudut matanya. Ya. Bapak telah tertipu. Pak Ian berkata tak menghubungi
siapapun. Bahkan ia meminta ganti rugi. Jika tidak, hukum yang akan bertindak
pada Bapak.
Harapan untuk Rea kuliah hampir
kandas sudah. Tanpa sikap keras Bapak mungkin hari seperti sekarang tak akan
terlaksana.
“Tidak. Jangan menyerah seperti itu. Kau harus berpendidikan jika
tak ingin dibodohi orang seperti Bapak. Pergilah, jangan pikirkan apa yang akan
dilakukan Pak Ian pada Bapak. Semuanya akan baik-baik saja.” Ucapnya tegar.
Hingga tekat mengubah Rea meski harus meninggalkan Bapak. Bermodal otak
yang cemerlang membuatnya mendapatkan beasiswa. Ia juga bekerja paruh waktu
dengan biaya hidup yang sangat irit sekali. Komunikasinya dengan Bapak nyaris
hanya dua minggu sekali, itupun Rea harus ke wartel menelpon Pak Wardi (salah
satu tetangga) yang memiliki ponsel untuk menghubungi Bapak.
Ancaman yang dilayangkan Pak Ian memang membuatnya resah. Ia tak
mampu mendengar berita tentang Bapaknya yang ringkih harus meringkuk di
penjara. Hingga kabar terdengar. Beberapa polisi datang membuat geger penduduk
desa.
***
“Bagaimana keadaannya sekarang?”
tanya Rea sambil memperhatikan koran di pangkuannya.
“Setelah keluar dari penjara Pak Ian
tampak kurus.” Ucap Bapak.
Ya. Kejahatan yang dilakukan Pak Ian terkuak. Kambing-kambing Pak
Ian yang dipelihara Bapak dulu yang lenyap, murni akal-akalannya untuk
keuntungan yang lebih besar. Bapak terbukti tak bersalah. Ditambah lagi penipuan
besar perdagangan Pak Ian yang lain.
Pertikaian hebat dengan salah satu saingannyalah yang membuat
rahasia Pak Ian terkuak. Bukan Bapak yang meringkuk di jeruji besi pada
akhirnya. Tapi dalang yang sebenarnya itulah.
***
Komentar
Posting Komentar