Langsung ke konten utama

Cerpen Nur Hidayah: Ingatan Tentang Bapak





Tangan Rea terulur mengusap headline sebuah surat kabar. Mulutnya sedikit ternganga. Tertulis di lembaran kesekian tentang seorang lelaki yang keluar dari jeruji besi setelah beberapa tahun di bui. Semuanya sudah terlewati. Ia bergumam lirih.
***
Ada senang, haru, rindu segala rasa berbaur menjadi satu. Beberapa tahun, akhirnya mereka kembali bertemu. Acara wisuda telah selesai dilaksanakan. Pada akhirnya Rea bisa bernafas lega juga. Bapak duduk di sebuah kursi panjang bersama Rea dengan mata berkaca-kaca. Rea menceritakan tentang keberhasilannya magang di salah satu perusahaan besar.

            “Bapak bangga.” Suara itu terdengar bergetar dan sendu. Tak banyak bicara, namun dua kata itu mampu menghangatkannya. Ke dalam mata Bapak yang sayu, seolah-olah Rea bisa menerawang pada masa lalu. Ada banyak kesedihan dan pengorbanan di sana.

            Terutama sepeda ontel Bapak yang terekam jelas dalam ingatan. Dengan sepeda itu, Bapak bisa mengayuh ratusan meter membawa sekarung rumput segar yang akan ia jual pada pemilik peternakan sapi. Salah satu sumber pendapatannya.

           Subuh ia akan keluar dengan karung yang kempis, lalu datang dengan sekarung rumput saat hari mulai terang. Dengan sepeda ontelnya, ia mengayuh hingga ke peternakan. Namun tak selalu berjalan mulus. Terkadang, rantai sepeda itu putus di tengah jalan. Membuatnya berjalan kaki dalam jarak yang  jauh. Jika begitu, sekarung rumput itu tak laku akibat begitu banyaknya tukang-tukang rumput lain yang datang lebih pagi. Membuatnya pulang tanpa sepeserpun upah.

            “Bagaimana lagi, Bapak memberikan sekarung rumput itu cuma-cuma. Kesulitan membawanya pulang dalam kondisi seperti ini.” Kata Bapak terduduk. Rea menatapnya iba. Betapa lelahnya. 

            Malam adalah waktu terindah bagi Rea. Saat suara jangkrik bersahutan. Ia dengan Bapak akan duduk di kursi halaman. Cerita-cerita Bapak adalah hiburan yang paling menyenangkan.

            “Kau tahu Rea, kau adalah harapan Bapak satu-satunya. Belajarlah dengan baik!” ucapnya.
            Cita cita terbesar Bapak adalah menyekolahkan Rea. Ia tak ingin takdir hidup yang dijalani terulang pada anaknya itu. Sejak Ibu meninggal, tanggung jawab yang diemban Bapak semakin besar. Ia juga harus berperan sebagai Ibu bagi Rea. 

            Kembali, angin meniup lembut kerudung Rea. Ia tersadar pada lamunannya. Wisudawan lain tengah berbincang dengan orang tua masing-masing. Beberapa di antaranya terlihat mendapat ucapan selamat dan hadiah. Bapak memperhatikan apa yang Rea lihat.

            “Maaf tak membawa apa-apa.” Raut itu tampak terlihat menyesal. Rea menggeleng cepat-cepat.

            “Tidak apa-apa.” Rea tersenyum. “Ngomong-ngomong, bagaimana Bapak bisa ke sini? Biaya transportasi dari mana?” tanyanya. Sudut bibir Bapak tertarik ke samping. Menampilkan banyak kerutan lain yang tampak semakin jelas.

            “Pak Hanan menitipkan sepasang kambing ke Bapak dan melahirkan dua anak kambing. Salah satunya untuk Bapak dan telah terjual.” Tiba-tiba sudut Mata Rea berembun. Ia tahu. Bapak tak pernah beruntung memelihara ternak itu. Banyak kejadian miris karenanya.

            Dulu, Bapak pernah memiliki satu kambing  jantan besar. Rencananya, setelah cukup umur, kambing itu akan dijual. Hasil dari jualan itu untuk menanam pohon sengon di pekarangannya yang tak terlalu lebar. Sebagian lainnya untuk biaya makan serta mengganti ban yang rusak. 

Semenjak sepeda tak terpakai. Bapak merumput lebih pagi lagi. Berjalan ratusan meter untuk dijual. Kadang, Bapak menjadi penyunggul hasil sawah untuk di angkut ke truk di dekat jalan besar. Melihatnya tak tega, Bapak sangat kurus. Untuk sekali menyunggul sekarung kentang saja telah membuatnya terengah-engah.

            Hanya kambing jantan itu harapan mereka sementara.
            Hingga suatu hari, Rea yang masih duduk di bangku SMP, menerima tawaran Bimo.

            “Hasilnya lumayan. Bisa buat membeli buku dan uang jajan setiap hari.” Mendengarnya. Rea tertarik. Seperti kebiasaannya, Bimo seringkali memancing ataupun meracuni ikan-ikan di sungai. Tidak berbahaya asalkan takarannya pas untuk mendapatkan banyak ikan.

            “Bagaimana caranya?” dengan tersenyum, Bimo berbisik di telinga Rea.
            Maka, sepulang sekolah, mereka sudah siap dengan sebungkus serbuk yang digunakan untuk membuat ikan pusing. Itu hanya pendapat Bimo. Tak membuatnya mati. Hanya jadi lebih mudah menangkapnya. 

            “Gunakan sedikit saja,” Rea mengangguk. Berkali-kali Bimo mengingatkan.
            Namun akhirnya, Rea memekik tertahan. Sebungkus serbuk itu tumpah dan hanyut di aliran air yang cukup deras.

            “Tamatlah riwayatmu.” Ucap Bimo ternganga. Di belakang sana, ada ratusan bebek Pak Ian berenang. Betapa angkuhnya dia.

            Karena itulah kambing Bapak ludes sebagai ganti rugi. Memang, Bapak tak berkata apa-apa. Tapi Rea tahu bahwa hatinya merana. Rea hanya bisa menangis. Pupus sudah harapan Bapak karenanya.

***

            Kejadian itu tak menyurutkan hati Bapak. Menjelang lulus SMA, Rea berencana melanjutkan pendidikan di bangku kuliah. Bertahun-tahun, titipan ternak dari Pak Ian (setelah tragedi kematian bebek) beranak pinak hingga siap dijual. Maka, sendirian Bapak memandu kambing-kambing itu ke pasar. Menyerahkan pada supir truk yang berkata telah menghubungi Pak Ian. Tentu saja Bapak percaya.

Setelah kambing terangkut dalam truk. Bapak hanya perlu menunggu. Lama. Supir itu tak kunjung kembali untuk memberikan uang sesuai kesepakatan. Hingga petang, Bapak hanya bisa pulang dengan berjalan kaki dan bulir air yang merebak disudut matanya. Ya. Bapak telah tertipu. Pak Ian berkata tak menghubungi siapapun. Bahkan ia meminta ganti rugi. Jika tidak, hukum yang akan bertindak pada Bapak.

            Harapan untuk Rea kuliah hampir kandas sudah. Tanpa sikap keras Bapak mungkin hari seperti sekarang tak akan terlaksana.

“Tidak. Jangan menyerah seperti itu. Kau harus berpendidikan jika tak ingin dibodohi orang seperti Bapak. Pergilah, jangan pikirkan apa yang akan dilakukan Pak Ian pada Bapak. Semuanya akan baik-baik saja.” Ucapnya tegar.

Hingga tekat mengubah Rea meski harus meninggalkan Bapak. Bermodal otak yang cemerlang membuatnya mendapatkan beasiswa. Ia juga bekerja paruh waktu dengan biaya hidup yang sangat irit sekali. Komunikasinya dengan Bapak nyaris hanya dua minggu sekali, itupun Rea harus ke wartel menelpon Pak Wardi (salah satu tetangga) yang memiliki ponsel untuk menghubungi Bapak.

Ancaman yang dilayangkan Pak Ian memang membuatnya resah. Ia tak mampu mendengar berita tentang Bapaknya yang ringkih harus meringkuk di penjara. Hingga kabar terdengar. Beberapa polisi datang membuat geger penduduk desa.
***

            “Bagaimana keadaannya sekarang?” tanya Rea sambil memperhatikan koran di pangkuannya.
            “Setelah keluar dari penjara Pak Ian tampak kurus.” Ucap Bapak. 

Ya. Kejahatan yang dilakukan Pak Ian terkuak. Kambing-kambing Pak Ian yang dipelihara Bapak dulu yang lenyap, murni akal-akalannya untuk keuntungan yang lebih besar. Bapak terbukti tak bersalah. Ditambah lagi penipuan besar perdagangan Pak Ian yang lain.

Pertikaian hebat dengan salah satu saingannyalah yang membuat rahasia Pak Ian terkuak. Bukan Bapak yang meringkuk di jeruji besi pada akhirnya. Tapi dalang yang sebenarnya itulah.
***


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Album Kenangan~ Cerpen Majalah Gadis

“Jangan bicara padaku tentang kenangan,” aku berkata.                         “Kenapa?” Alisnya bertaut. Masa suram itu kembali menamparku. Bayangan Mama yang tengah kalap memenuhi kepala.             “Karena aku tidak suka membahas kenangan, itu sudah usai. Tak perlu diingat.” Ia mengangguk mengerti, tersenyum. Lantas membidikku dengan sekali kedipan kamera polaroidnya. Aku hanya bisa menganga, selembar kertas foto muncul dengan otomatis. Tanganku bergetar, lintasan kenangan menganga lebar di kepala. Ingatan tentang foto-foto dalam album itu terasa mencekikku. Raut Nathan bertanya-tanya ketika aku bergegas menghindar.

Tradis Lebaran ~ Percikan Majalah Gadis

Selagi memperhatikan Mama memasak, kata-kata Romi kembali terngiang di telingaku.             “Aku ingin angpau dari tetangga, bukan dari Mama,” protesnya. Mama salah, Romi bukan anak kecil lagi yang bisa dibohongi dengan memberikan uang kertas dalam amplop dan mengatakan dari tetangga. Tapi kembali, Mama tidak kehabisan akal, mungkin semangkok opor ayam akan membuat Romi tidak banyak menuntut.