Langsung ke konten utama

Album Kenangan~ Cerpen Majalah Gadis










“Jangan bicara padaku tentang kenangan,” aku berkata.          
             
“Kenapa?” Alisnya bertaut. Masa suram itu kembali menamparku. Bayangan Mama yang tengah kalap memenuhi kepala.
           
“Karena aku tidak suka membahas kenangan, itu sudah usai. Tak perlu diingat.” Ia mengangguk mengerti, tersenyum. Lantas membidikku dengan sekali kedipan kamera polaroidnya. Aku hanya bisa menganga, selembar kertas foto muncul dengan otomatis. Tanganku bergetar, lintasan kenangan menganga lebar di kepala. Ingatan tentang foto-foto dalam album itu terasa mencekikku. Raut Nathan bertanya-tanya ketika aku bergegas menghindar.

                                                                                 ***      
             
      


Aku masih mengingatnya dengan jelas. Setelah kematian Ayah, kami terpaksa hanya hidup bertiga. Aku, Kak Diana dan Mama. Sebenarnya kami tidak benar-benar bertiga. Saat aku menginjak kelas 1 SMA, Kak Diana harus melajutkan kuliah di Bandung, menetap di rumah Paman Hans. Tak kusangka, kematian Ayah membuat semuanya nyaris berubah. Tak ada lagi kehangatan itu. Setiap saat, wajah Ayah selalu melintas. Lalu, dengan mengingatnya hanya akan membuatku menangis terisak. Terlebih lagi Mama. Rupanya duka menyelimutinya lama.
    
“Lihatlah, Ayahmu  fotografer luar biasa.” Kata Mama sambil menunjuk foto dalam album kenangan Ayah. Setiap hari Mama mendekap Album tebal yang warnanya senada dengan kulit pohon tua itu. Cokelat pekat. Album itu seperti harta karun bagi Mama. Isinya adalah kenang-kenangan yang tak bosan Mama putar ulang di benaknya. Dengan melihat album itu seakan-akan membuat Mama kembali menelusuri adegan kehidupan masa silam yang Ayah abadikan dalam gambar.
            
Di salah satu foto kesayangannya, Mama mendekatkan hidungnya membaui aroma masakan seolah-olah itu nyata. Semur daging kentang yang terlihat menggugah itu adalah menu favorit Ayah dulu. Aku hanya bisa menatap Mama yang tersenyum sendiri. Aneh.
    
Mama kembali menyibak halaman album itu perlahan,  “Dan, kau masih kecil sekali di foto ini. Kita bergandengan tangan menuju kebun mangga.” Tak terbayangkan foto itu menjadi kenangan terakhir Ayah. Dalam pandangan Mama aku masih kecil, aku tertunduk. Padahal, foto itu hasil bidikan Ayah sewaktu aku kelas 3 SMP. Entahlah apa yang ada di pikiran Mama. Terlampau sulit melupakan masa-masa getir itu.
         
“Beractinglah! Seolah-olah kalian menikmati kesejukan pagi dengan bergandengan tangan, Ayah akan menfotonya dari belakang.” Ucapan Ayah masih terngiang jelas. Aku masih mengingat ketika ia berlari-lari kecil membuat jarak untuk mengambil foto kami dari kejauhan. Mengatur posisi yang pas agar gambar yang dihasilkan bagus. Bahkan aroma dedaunan bercampur dengan embun, udara yang sangat segar dan kicauan burung yang hinggap di dahan-dahan pohon masih saja memutar di benakku.

Pagi yang indah, kurasa. Lantas disusul duka yang berujung lama. Waktu itu aku menatap Mama tersenyum dan menggandeng tangannya yang begitu hangat. Membiarkan Ayah beraksi dengan kameranya. Inilah momen paling indah bagiku ketika menghabiskan hari libur bersama mereka. Menghirup udara pagi yang segar bersama hijaunya pemandangan di kanan-kiri kami. Mengabadikan diri dengan tersenyum dalam setiap bidikan foto Ayah. Sayangnya aku baru sadar, tak ada yang abadi di dunia ini. Kami harus menerima kenyataan itu.
            
Kudengar suara ‘klik’ kamera Ayah. Tapi, entah kenapa Ayah memegang jantungnya dan jatuh tersungkur. Kami berteriak mengguncang bahu Ayah dan berharap pertolongan akan datang. Selanjutnya aku tak ingin mengingat bagaimana detailnya. Aroma embun pagi seolah melintas kembali. Sesak.
          
Tiba-tiba ada yang berubah dari raut Mama, ia seperti bergumam. Matanya berkaca-kaca kemudian bahunya terguncang. Mama menangis meraung, melempar benda-benda di sekitar kami. Tidak, Mama tidak melampiaskannya padaku.
                                                                      
***
          
Dari arah jendela kelas, aku melihat Nathan membidik banyak gambar di halaman sekolah. Sasarannya tertuju pada tanaman kaktus dan kolam kecil di sebelahnya. Melihatnya mengingatkanku pada Ayah. Mereka begitu suka mengabadikan sesuatu dalam gambar. Kemudian, Ia beralih membidik pada sepasang burung yang hinggap di dahan pohon akasia. Lantas tersenyum sembari mengepalkan tangan, puas. Aku berpaling cepat ketika ia menoleh ke arahku.
         
Dari sudut mata, aku merasakan ia segera beranjak pergi. Aku menghela napas, kembali memikirkan Mama selalu membuatku cemas. Menggigil di sudut ruangan. Mengacak-acak seluruh tempat. Berteriak untuk pertama kalinya. Berbagai macam pikiran berkecamuk di otakku.
             
Hanya sesekali. Ya. Setidaknya Mama akan tampak lebih semringah ketika Kak Diana datang. Pulang hanya sesekali sewaktu liburan dan menginap beberapa hari kemudian kembali. Kehidupan di kota membuatnya betah rupanya. Seandainya aku bisa pindah bersamanya. Sayang, ini hanya harapan kecil yang tersimpan dalam hati.
          
Paman Hans? Ia berkunjung tak menentu. Membawa putra kecilnya yang menggemaskan. Lalu, Mama akan sangat senang selama mereka di sini. Bermain sambil tertawa-tawa dan menghidangkan berbagai macam masakan lezat buatan Mama untuk mereka. Namun, jadwal pekerjaan mengharuskan Paman pulang. Seandainya Paman Hans bisa menetap lama di sini.
          
Lalu tinggallah kami berdua di rumah yang terasa sunyi ini. Dan, itu yang kutakutkan.
            
“Apakah ada yang salah dengan kata-kataku kemarin?” tiba-tiba Nathan datang memecahkan seluruh lamunan dan segera duduk di sampingku, kali ini ia membawa kamera digital yang dikalungkan di lehernya. Aku menegakkan posisi dudukku yang mulai terasa tak nyaman.
            
Aku menggeleng. Tidak ada yang perlu dibahas dari kejadian kemarin.
            
“Kau selalu tampak ...” Nathan menghentikan suaranya, “Aku tidak keberatan jika kau ingin menceritakan masalahmu.” Aku mengkerutkan kening. Apakah ia tengah membaca pikiranku? Begitukah aku di matanya? Bahkan aku tak pernah mengatakannya pada siapapun. Aku bisa melewatinya sendiri sejauh ini, tidak akan terjadi apa-apa. Aku hanya tersenyum tipis.

Nathan mainkan kamera digital dengan tangannya. Lantas, kembali melepasnya tergantung di leher ketika aku meliriknya. Sepertinya ia ingat sewaktu aku buru-buru pergi ketika ia memfotoku kemaren. Aku menghela napas, menatapnya sejenak.

“Ayahku seorang fotografer andal” aku membuka suara. Nathan mendongak antusias.

“Ayah memiliki galeri sendiri di rumah, ruangan khusus menyimpan hasil karya-karyanya. Berkali-kali memenangkan penghargaan dan karya yang laris dalam lelangan.” Kataku melanjutkan. Mata Nathan berbinar.

“Benarkah? kau pasti belajar banyak dari Ayahmu.” Nathan tersenyum.

“Mungkin sebagian aku sudah lupa, aku sudah tidak mencobanya lagi hingga sekarang.” Nathan mengerutkan kening meminta penjelasan.

“Kenapa?” ucapnya kemudian. Kutanggapi hanya dengan senyum kecut.

Kualihkan untuk melihat koleksi foto-fotonya. Tapi, tiba-tiba Nathan meraihnya kembali. Lantas tersenyum menggeleng. Seperti ada yang dia sembunyikan. Mataku menyipit.  Malu? Tapi....

“Hey... kenapa dengan bibirmu?” dia mengalihkan pembicaraan ketika kutanya alasannya. Aku meraba luka itu.

“Seriawan” untunglah, Nathan percaya. Lalu, ia menatapku sejenak.

“Bolehkah aku bertemu Ayahmu?”  Mataku meredup seketika.
                                                         
***

Album foto itu terlampau berharga bagi Mama. Tidak ada lagi senyum ketika ia mengelus foto-foto Ayah, kecuali hanya lamunan yang jauh menerawang entah ke mana. Kurasakan duka itu sendiri. Mencoba meredam kesedihan sebaik mungkin yang kubisa. Kak Diana jauh di seberang sana, hanya aku yang menjadi pelampiasan Mama. Sakit. Perih. Sedih.
            
Kadang aku berpikir untuk mengadu pada Paman Hans. Namun, saat itu pelukan Mama begitu hangat. Ia kembali menjadi sosok menyenangkan yang membuatku nyaman. Kupikir amarahnya akhir-akhir ini hanya sekedar kekesalan akibat kehilangan semata. Kekacauan itu tak akan terulang. Tapi, Mama semakin tidak bisa ditebak. Untuk sesaat ia bersikap manis padaku, setelahnya Mama akan berubah menjadi sosok yang menyeramkan.
           
“Ini hanya depresi ringan, seiring berjalannya waktu keadaan Lena akan membaik.” Jelas dokter waktu itu pada Paman Hans. Dan itu sepenuhnya salah.

“Kau yang menghilangkannya.” Mama menyingkap taplak meja makan dengan kasar. Piring, nasi, mangkok, lauk pauk, semuanya jatuh berceceran. Aku berusaha menghentikan Mama yang mengamuk. Tapi Mama sangat kuat, membanting hampir setiap benda.

Aku gemetar. Takut. Apa yang terjadi pada Mama? Tak berapa lama, entah benda apa yang terlempar pada wajahku. Bibirku tergores kecil. Aku mengaduh. Menangis lirih meminta Mama menghentikannya. Dan itupun percuma, Mama tetap tak menghiraukanku. Ia berteriak dan mengacak-acak seluruh ruangan mencari album foto itu kembali.

Seisi Album foto itu terekam jelas diingatanku. Ayah. Mama. Kak Diana. Aku. Semua momen kebersamaan kami diabadikan di dalamnya. Album yang selalu dibutuhkan untuk meredam lara Mama setiap saat. Lalu bagaimana mungkin aku akan menghilangkannya?

Aku menangis terisak. Kali ini Mama mendorongku kuat membuatku tersungkur membentur meja. “Ninis sudah mencarinya, tak ada di mana-mana.” Kataku sambil terisak.

Mama semakin kalap, menjatuhkan rak piring dari kayu, aku begidik takut. Semua benda-benda rentan pecah berserakan. Aku mengaduh ketika tak sengaja kakiku tergores pecahan beling. Perih. Tiba-tiba Mama tak sengaja menjatuhkan semur daging kentang dalam panci.  Aroma lezat menguar seketika di udara. Mama menghentikan aksinya, menatap masakan kesukaan Ayah yang tumpah berceceran di atas lantai. Butiran bening menetes di pipi Mama. Lalu, Mama berjongkok perlahan dan mencoleknya dengan ujung jari kemudian mencicipinya dengan mata terpejam.

Mama. Sudah. Gila. Aku mengejanya dalam hati. Aku mundur sambil terduduk. Takut. Entah hal apalagi yang akan dilakukan Mama. Aku benar-benar tidak menghilangkan album itu. Kutegaskan dalam hati. Untuk pertama kalinya Mama bertindak kasar sepanjang sejarah kehidupan kami. Kenapa album kenangan itu malah menjadi petaka bagiku? Seandainya Mama bisa melupakan kenangan, andai saja.
          
Tapi detik selanjutnya terasa ajaib. Mama memelukku seminta maaf. Menciumku berkali-kali, seolah berkata lirih. Apa yang telah kulakukan?
                                                                     ***      
          
Untuk menepis ingatanku akan Mama. Aku banyak mengisi kegiatan dengan hal-hal yang disukai Ayah. Sebuah Kamera DSLR peninggalan Ayah kugunakan bersama Nathan. Memburu setiap objek yang menarik perhatian kami. Lalu, suara kedipan kamera susul menyusul bergantian. Bahkan aku sudah lupa kapan terakhir kali aku merasa riang memainkan kamera seperti sekarang ini.
         
“Aku selalu berharap melupakan sebuah kenangan” kataku suatu hari pada Nathan. Aku ingat pertanyaannya dulu, sekarang aku berani menceritakannya. Nathan menatapku sejenak, tersenyum. Kemudian beralih memainkan kameranya kembali.
      
Foto yang ia hasilkan mendekati sempurna. Berbakat. Sudah lama aku tak melakukan kegiatan ini setelah Ayah pergi. Dan ini cukup menyenangkan. Sesaat, aku sedikit melupakan sesak itu. Nathan mengalihkan diri dari kamera ke arahku.
        
“Kita tidak harus melupakan kenangan, kita harus tahu bagaimana indahnya proses berdamai dengan masa lalu. Memahami indahnya menerima, memaafkan, tapi tidak melupakan.” Aku tertegun mendengar kata-katanya. Terdiam.
     
“Hey!! Sunset Bersama Rosie, karya Tere Liye. Kau mengutipnya bukan?” Nathan tersenyum, tertunduk malu-malu. Itu benar. Kami tertawa berasamaan.
                                                                        ****
     
Foto terakhir itu masih tertanam dalam ingatanku. Bergandengan tangan dengan Mama di pagi yang segar sembari menikmati hijaunya pemandangan. Yang aku ingat, waktu itu kami begitu terkejut ketika mendapati Ayah terkapar di atas tanah sembari memegangi dadanya. Kami panik luar biasa. Berteriak-teriak meminta tolong di tempat yang cukup sepi itu. Menangis parau ketika Ayah sudah tak tertolong lagi.
     
Album yang di dalamnya ada ratusan foto kenangan itu sudah tak terlihat lagi. Biarlah kenangan pahit yang kami rasakan menguap bersama hilangnya album itu. Namun, Ayah akan selalu dalam ingatan beserta nasehatnya yang akan selalu kami genggam. Kuharap duka Mama juga akan mereda seiring berjalannya waktu. Itu doa yang selalu kupanjatkan setiap malam.
     
Sudah dua minggu lewat. Luka-lukaku sudah mengering. Meninggalkan bopeng di dahi dan lebam di bagian yang lainnya. Paman Hans mengetahuinya. Saat itu Mama kembali tak terkontrol. Berteriak mencari-cari album itu dan melemparkan segala benda padaku. Terpaksa Paman Hans harus membawa Mama ke tempat rehabilitasi di Bandung hingga ia sembuh. Kata Paman ini demi kebaikan Mama.
     
Untuk itu aku harus ikut dengan Paman. Pindah sekolah dan meninggalkan rumah yang sengaja disewakan sekarang. Nathan? Aku sudah pamitan padanya. Ia memberiku album hijau lumut miliknya. Nyaris hanya ada fotoku di dalamnya. Rupanya Nathan melakukannya secara diam-diam. Entahlah sejak kapan? tiba-tiba aku merasakan ada yang berbeda.
     
Aku tertegun. Dalam album foto di lembar terakhir terlihat ketika aku tengah memegang kamera, bibirku tertarik ke samping setelah berhasil membidik kelopak bunga yang dihinggapi kupu-kupu. Rambutku yang tergerai di terpa angin dengan lembut. Nathan sempurna mengambil gambar itu. Dengan latar belakang hijaunya pepohonan di sekitarku dan pencahayaan yang pas dan natural. Nathan menulis sesuatu di bawahnya.
     
 Akhirnya aku melihat senyum manis itu lagi.

Kejutan beruntun di hari minggu. Aku hampir saja tersedak melihat kejutan kedua berada di meja belajar Kak Diana. Ingatan yang terlintas dari album kenangan Ayah kembali membuatku sesak. Aku bergumam menyebut Mama. Lantas aku bertanya, bagaimana bisa?

“Iya. Aku yang membawa album foto itu. Ketika aku rindu Ayah, maka aku akan membukanya. Maaf aku tidak berpikir jika Mama akan bertidak begitu.” Jelas Kak Diana seraya memelukku.

Hatiku seperti mengempis. Sesak rasanya. Album kenangan itu telah kembali setelah Mama pergi.
                                                                                ***

*Versi asli sebelum diedit Redaktur
Gadis edisi Mei 2017

By: Amina Sy

Catatan: Alhamdulillah kembali dimuat di Gadis, cerpen pertama setelah percikan. Ini hasil dari kelas menulis FP PT cerpen remaja bersama Mbak Yulina Trihaningsih. Kelas menulis pertama yang saya ikuti, senang rasanya dan tak terbayang.

Ide ini kudapat dari cerita teman yang murung luar biasa begitu album yang memuat semua foto keluarga dibawa oleh kakak ke Malang. Eh, sepulangnya malah rusak hingga jamuran. Tertarik, kugabungkan saja ide dengan tantangan gambar dan kalimat pembuka yang Mbak Yulin suguhkan. Dan beginilah hasilnya, alhamdulillah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tradis Lebaran ~ Percikan Majalah Gadis

Selagi memperhatikan Mama memasak, kata-kata Romi kembali terngiang di telingaku.             “Aku ingin angpau dari tetangga, bukan dari Mama,” protesnya. Mama salah, Romi bukan anak kecil lagi yang bisa dibohongi dengan memberikan uang kertas dalam amplop dan mengatakan dari tetangga. Tapi kembali, Mama tidak kehabisan akal, mungkin semangkok opor ayam akan membuat Romi tidak banyak menuntut.

Cerpen Nur Hidayah: Ingatan Tentang Bapak

Tangan Rea terulur mengusap headline sebuah surat kabar. Mulutnya sedikit ternganga. Tertulis di lembaran kesekian tentang seorang lelaki yang keluar dari jeruji besi setelah beberapa tahun di bui. Semuanya sudah terlewati . Ia bergumam lirih.