“Jangan bicara padaku tentang
kenangan,” aku berkata.
“Kenapa?” Alisnya bertaut. Masa
suram itu kembali menamparku. Bayangan Mama yang tengah kalap memenuhi kepala.
“Karena
aku tidak suka membahas kenangan, itu sudah usai. Tak perlu diingat.” Ia
mengangguk mengerti, tersenyum. Lantas membidikku dengan sekali kedipan kamera
polaroidnya. Aku hanya bisa menganga, selembar kertas foto muncul dengan
otomatis. Tanganku bergetar, lintasan kenangan menganga lebar di kepala.
Ingatan tentang foto-foto dalam album itu terasa mencekikku. Raut Nathan
bertanya-tanya ketika aku bergegas menghindar.
Aku masih mengingatnya dengan jelas.
Setelah kematian Ayah, kami terpaksa hanya hidup bertiga. Aku, Kak Diana dan
Mama. Sebenarnya kami tidak benar-benar bertiga. Saat aku menginjak kelas 1
SMA, Kak Diana harus melajutkan kuliah di Bandung, menetap di rumah Paman Hans.
Tak kusangka, kematian Ayah membuat semuanya nyaris berubah. Tak ada lagi
kehangatan itu. Setiap saat, wajah Ayah selalu melintas. Lalu, dengan
mengingatnya hanya akan membuatku menangis terisak. Terlebih lagi Mama. Rupanya
duka menyelimutinya lama.
“Lihatlah,
Ayahmu fotografer luar biasa.” Kata Mama sambil menunjuk foto dalam album
kenangan Ayah. Setiap hari Mama mendekap Album tebal yang warnanya senada
dengan kulit pohon tua itu. Cokelat pekat. Album itu seperti harta karun bagi
Mama. Isinya adalah kenang-kenangan yang tak bosan Mama putar ulang di
benaknya. Dengan melihat album itu seakan-akan membuat Mama kembali menelusuri
adegan kehidupan masa silam yang Ayah abadikan dalam gambar.
Di salah satu foto kesayangannya, Mama
mendekatkan hidungnya membaui aroma masakan seolah-olah itu nyata. Semur daging
kentang yang terlihat menggugah itu adalah menu favorit Ayah dulu. Aku hanya
bisa menatap Mama yang tersenyum sendiri. Aneh.
Mama
kembali menyibak halaman album itu perlahan, “Dan, kau masih kecil sekali
di foto ini. Kita bergandengan tangan menuju kebun mangga.” Tak terbayangkan
foto itu menjadi kenangan terakhir Ayah. Dalam pandangan Mama aku masih kecil,
aku tertunduk. Padahal, foto itu hasil bidikan Ayah sewaktu aku kelas 3 SMP.
Entahlah apa yang ada di pikiran Mama. Terlampau sulit melupakan masa-masa
getir itu.
“Beractinglah!
Seolah-olah kalian menikmati kesejukan pagi dengan bergandengan tangan, Ayah
akan menfotonya dari belakang.” Ucapan Ayah masih terngiang jelas. Aku masih
mengingat ketika ia berlari-lari kecil membuat jarak untuk mengambil foto kami
dari kejauhan. Mengatur posisi yang pas agar gambar yang dihasilkan bagus.
Bahkan aroma dedaunan bercampur dengan embun, udara yang sangat segar dan
kicauan burung yang hinggap di dahan-dahan pohon masih saja memutar di benakku.
Pagi yang indah, kurasa. Lantas disusul
duka yang berujung lama. Waktu itu aku menatap Mama tersenyum dan menggandeng
tangannya yang begitu hangat. Membiarkan Ayah beraksi dengan kameranya. Inilah
momen paling indah bagiku ketika menghabiskan hari libur bersama mereka.
Menghirup udara pagi yang segar bersama hijaunya pemandangan di kanan-kiri
kami. Mengabadikan diri dengan tersenyum dalam setiap bidikan foto Ayah.
Sayangnya aku baru sadar, tak ada yang abadi di dunia ini. Kami harus menerima
kenyataan itu.
Kudengar suara ‘klik’ kamera Ayah. Tapi,
entah kenapa Ayah memegang jantungnya dan jatuh tersungkur. Kami berteriak
mengguncang bahu Ayah dan berharap pertolongan akan datang. Selanjutnya aku tak
ingin mengingat bagaimana detailnya. Aroma embun pagi seolah melintas kembali.
Sesak.
Tiba-tiba ada yang berubah dari raut
Mama, ia seperti bergumam. Matanya berkaca-kaca kemudian bahunya terguncang.
Mama menangis meraung, melempar benda-benda di sekitar kami. Tidak, Mama tidak
melampiaskannya padaku.
***
Dari arah jendela kelas, aku melihat
Nathan membidik banyak gambar di halaman sekolah. Sasarannya tertuju pada
tanaman kaktus dan kolam kecil di sebelahnya. Melihatnya mengingatkanku pada
Ayah. Mereka begitu suka mengabadikan sesuatu dalam gambar. Kemudian, Ia
beralih membidik pada sepasang burung yang hinggap di dahan pohon akasia.
Lantas tersenyum sembari mengepalkan tangan, puas. Aku berpaling cepat ketika
ia menoleh ke arahku.
Dari sudut mata, aku merasakan ia segera
beranjak pergi. Aku menghela napas, kembali memikirkan Mama selalu membuatku
cemas. Menggigil di sudut ruangan. Mengacak-acak seluruh tempat. Berteriak
untuk pertama kalinya. Berbagai macam pikiran berkecamuk di otakku.
Hanya sesekali. Ya. Setidaknya Mama akan
tampak lebih semringah ketika Kak Diana datang. Pulang hanya sesekali sewaktu
liburan dan menginap beberapa hari kemudian kembali. Kehidupan di kota
membuatnya betah rupanya. Seandainya aku bisa pindah bersamanya. Sayang, ini
hanya harapan kecil yang tersimpan dalam hati.
Paman Hans? Ia berkunjung tak menentu.
Membawa putra kecilnya yang menggemaskan. Lalu, Mama akan sangat senang selama
mereka di sini. Bermain sambil tertawa-tawa dan menghidangkan berbagai macam
masakan lezat buatan Mama untuk mereka. Namun, jadwal pekerjaan mengharuskan
Paman pulang. Seandainya Paman Hans bisa menetap lama di sini.
Lalu tinggallah kami berdua di rumah yang
terasa sunyi ini. Dan, itu yang kutakutkan.
“Apakah ada yang salah dengan kata-kataku
kemarin?” tiba-tiba Nathan datang memecahkan seluruh lamunan dan segera duduk
di sampingku, kali ini ia membawa kamera digital yang dikalungkan di lehernya.
Aku menegakkan posisi dudukku yang mulai terasa tak nyaman.
Aku menggeleng. Tidak ada yang perlu
dibahas dari kejadian kemarin.
“Kau selalu tampak ...” Nathan
menghentikan suaranya, “Aku tidak keberatan jika kau ingin menceritakan
masalahmu.” Aku mengkerutkan kening. Apakah ia tengah membaca pikiranku?
Begitukah aku di matanya? Bahkan aku tak pernah mengatakannya pada siapapun.
Aku bisa melewatinya sendiri sejauh ini, tidak akan terjadi apa-apa. Aku hanya
tersenyum tipis.
Nathan mainkan kamera digital dengan
tangannya. Lantas, kembali melepasnya tergantung di leher ketika aku
meliriknya. Sepertinya ia ingat sewaktu aku buru-buru pergi ketika ia memfotoku
kemaren. Aku menghela napas, menatapnya sejenak.
“Ayahku seorang fotografer andal” aku
membuka suara. Nathan mendongak antusias.
“Ayah memiliki galeri sendiri di rumah,
ruangan khusus menyimpan hasil karya-karyanya. Berkali-kali memenangkan
penghargaan dan karya yang laris dalam lelangan.” Kataku melanjutkan. Mata
Nathan berbinar.
“Benarkah? kau pasti belajar banyak dari
Ayahmu.” Nathan tersenyum.
“Mungkin sebagian aku sudah lupa, aku
sudah tidak mencobanya lagi hingga sekarang.” Nathan mengerutkan kening meminta
penjelasan.
“Kenapa?” ucapnya kemudian. Kutanggapi
hanya dengan senyum kecut.
Kualihkan untuk melihat koleksi
foto-fotonya. Tapi, tiba-tiba Nathan meraihnya kembali. Lantas tersenyum menggeleng.
Seperti ada yang dia sembunyikan. Mataku menyipit. Malu? Tapi....
“Hey... kenapa dengan bibirmu?” dia
mengalihkan pembicaraan ketika kutanya alasannya. Aku meraba luka itu.
“Seriawan” untunglah, Nathan percaya.
Lalu, ia menatapku sejenak.
“Bolehkah aku bertemu Ayahmu?”
Mataku meredup seketika.
***
Album foto itu terlampau berharga bagi
Mama. Tidak ada lagi senyum ketika ia mengelus foto-foto Ayah, kecuali hanya
lamunan yang jauh menerawang entah ke mana. Kurasakan duka itu sendiri. Mencoba
meredam kesedihan sebaik mungkin yang kubisa. Kak Diana jauh di seberang sana,
hanya aku yang menjadi pelampiasan Mama. Sakit. Perih. Sedih.
Kadang aku berpikir untuk mengadu pada
Paman Hans. Namun, saat itu pelukan Mama begitu hangat. Ia kembali menjadi
sosok menyenangkan yang membuatku nyaman. Kupikir amarahnya akhir-akhir ini
hanya sekedar kekesalan akibat kehilangan semata. Kekacauan itu tak akan terulang.
Tapi, Mama semakin tidak bisa ditebak. Untuk sesaat ia bersikap manis padaku,
setelahnya Mama akan berubah menjadi sosok yang menyeramkan.
“Ini hanya depresi ringan, seiring
berjalannya waktu keadaan Lena akan membaik.” Jelas dokter waktu itu pada Paman
Hans. Dan itu sepenuhnya salah.
“Kau yang menghilangkannya.” Mama
menyingkap taplak meja makan dengan kasar. Piring, nasi, mangkok, lauk pauk,
semuanya jatuh berceceran. Aku berusaha menghentikan Mama yang mengamuk. Tapi
Mama sangat kuat, membanting hampir setiap benda.
Aku gemetar. Takut. Apa yang terjadi pada
Mama? Tak berapa lama, entah benda apa yang terlempar pada wajahku. Bibirku
tergores kecil. Aku mengaduh. Menangis lirih meminta Mama menghentikannya. Dan
itupun percuma, Mama tetap tak menghiraukanku. Ia berteriak dan mengacak-acak
seluruh ruangan mencari album foto itu kembali.
Seisi Album foto itu terekam jelas
diingatanku. Ayah. Mama. Kak Diana. Aku. Semua momen kebersamaan kami
diabadikan di dalamnya. Album yang selalu dibutuhkan untuk meredam lara Mama
setiap saat. Lalu bagaimana mungkin aku akan menghilangkannya?
Aku menangis terisak. Kali ini Mama
mendorongku kuat membuatku tersungkur membentur meja. “Ninis sudah mencarinya,
tak ada di mana-mana.” Kataku sambil terisak.
Mama semakin kalap, menjatuhkan rak
piring dari kayu, aku begidik takut. Semua benda-benda rentan pecah berserakan.
Aku mengaduh ketika tak sengaja kakiku tergores pecahan beling. Perih.
Tiba-tiba Mama tak sengaja menjatuhkan semur daging kentang dalam panci.
Aroma lezat menguar seketika di udara. Mama menghentikan aksinya, menatap
masakan kesukaan Ayah yang tumpah berceceran di atas lantai. Butiran bening
menetes di pipi Mama. Lalu, Mama berjongkok perlahan dan mencoleknya dengan
ujung jari kemudian mencicipinya dengan mata terpejam.
Mama. Sudah. Gila. Aku mengejanya dalam
hati. Aku mundur sambil terduduk. Takut. Entah hal apalagi yang akan dilakukan
Mama. Aku benar-benar tidak menghilangkan album itu. Kutegaskan dalam hati.
Untuk pertama kalinya Mama bertindak kasar sepanjang sejarah kehidupan kami.
Kenapa album kenangan itu malah menjadi petaka bagiku? Seandainya Mama bisa
melupakan kenangan, andai saja.
Tapi detik selanjutnya terasa ajaib. Mama
memelukku seminta maaf. Menciumku berkali-kali, seolah berkata lirih. Apa
yang telah kulakukan?
***
Untuk menepis ingatanku akan Mama. Aku
banyak mengisi kegiatan dengan hal-hal yang disukai Ayah. Sebuah Kamera DSLR
peninggalan Ayah kugunakan bersama Nathan. Memburu setiap objek yang menarik
perhatian kami. Lalu, suara kedipan kamera susul menyusul bergantian. Bahkan
aku sudah lupa kapan terakhir kali aku merasa riang memainkan kamera seperti
sekarang ini.
“Aku selalu berharap melupakan sebuah
kenangan” kataku suatu hari pada Nathan. Aku ingat pertanyaannya dulu, sekarang
aku berani menceritakannya. Nathan menatapku sejenak, tersenyum. Kemudian
beralih memainkan kameranya kembali.
Foto yang ia hasilkan mendekati sempurna.
Berbakat. Sudah lama aku tak melakukan kegiatan ini setelah Ayah pergi. Dan ini
cukup menyenangkan. Sesaat, aku sedikit melupakan sesak itu. Nathan mengalihkan
diri dari kamera ke arahku.
“Kita tidak harus melupakan kenangan,
kita harus tahu bagaimana indahnya proses berdamai dengan masa lalu. Memahami
indahnya menerima, memaafkan, tapi tidak melupakan.” Aku tertegun mendengar
kata-katanya. Terdiam.
“Hey!! Sunset Bersama Rosie, karya Tere
Liye. Kau mengutipnya bukan?” Nathan tersenyum, tertunduk malu-malu. Itu benar.
Kami tertawa berasamaan.
****
Foto terakhir itu masih tertanam dalam
ingatanku. Bergandengan tangan dengan Mama di pagi yang segar sembari menikmati
hijaunya pemandangan. Yang aku ingat, waktu itu kami begitu terkejut ketika
mendapati Ayah terkapar di atas tanah sembari memegangi dadanya. Kami panik
luar biasa. Berteriak-teriak meminta tolong di tempat yang cukup sepi itu.
Menangis parau ketika Ayah sudah tak tertolong lagi.
Album yang di dalamnya ada ratusan foto
kenangan itu sudah tak terlihat lagi. Biarlah kenangan pahit yang kami rasakan
menguap bersama hilangnya album itu. Namun, Ayah akan selalu dalam ingatan
beserta nasehatnya yang akan selalu kami genggam. Kuharap duka Mama juga akan
mereda seiring berjalannya waktu. Itu doa yang selalu kupanjatkan setiap malam.
Sudah dua minggu lewat. Luka-lukaku sudah
mengering. Meninggalkan bopeng di dahi dan lebam di bagian yang lainnya. Paman
Hans mengetahuinya. Saat itu Mama kembali tak terkontrol. Berteriak mencari-cari
album itu dan melemparkan segala benda padaku. Terpaksa Paman Hans harus
membawa Mama ke tempat rehabilitasi di Bandung hingga ia sembuh. Kata Paman ini
demi kebaikan Mama.
Untuk itu aku harus ikut dengan Paman.
Pindah sekolah dan meninggalkan rumah yang sengaja disewakan sekarang. Nathan?
Aku sudah pamitan padanya. Ia memberiku album hijau lumut miliknya. Nyaris
hanya ada fotoku di dalamnya. Rupanya Nathan melakukannya secara diam-diam.
Entahlah sejak kapan? tiba-tiba aku merasakan ada yang berbeda.
Aku tertegun. Dalam album foto di lembar
terakhir terlihat ketika aku tengah memegang kamera, bibirku tertarik ke
samping setelah berhasil membidik kelopak bunga yang dihinggapi kupu-kupu.
Rambutku yang tergerai di terpa angin dengan lembut. Nathan sempurna mengambil
gambar itu. Dengan latar belakang hijaunya pepohonan di sekitarku dan
pencahayaan yang pas dan natural. Nathan menulis sesuatu di bawahnya.
Akhirnya
aku melihat senyum manis itu lagi.
Kejutan beruntun di hari minggu. Aku
hampir saja tersedak melihat kejutan kedua berada di meja belajar Kak Diana.
Ingatan yang terlintas dari album kenangan Ayah kembali membuatku sesak. Aku
bergumam menyebut Mama. Lantas aku bertanya, bagaimana bisa?
“Iya. Aku yang membawa album foto itu.
Ketika aku rindu Ayah, maka aku akan membukanya. Maaf aku tidak berpikir jika
Mama akan bertidak begitu.” Jelas Kak Diana seraya memelukku.
Hatiku seperti mengempis. Sesak rasanya.
Album kenangan itu telah kembali setelah Mama pergi.
***
By: Amina Sy
Catatan: Alhamdulillah kembali dimuat di Gadis, cerpen pertama setelah percikan. Ini hasil dari kelas menulis FP PT cerpen remaja bersama Mbak Yulina Trihaningsih. Kelas menulis pertama yang saya ikuti, senang rasanya dan tak terbayang.
Ide ini kudapat dari cerita teman yang murung luar biasa begitu album yang memuat semua foto keluarga dibawa oleh kakak ke Malang. Eh, sepulangnya malah rusak hingga jamuran. Tertarik, kugabungkan saja ide dengan tantangan gambar dan kalimat pembuka yang Mbak Yulin suguhkan. Dan beginilah hasilnya, alhamdulillah.
Komentar
Posting Komentar