Selagi memperhatikan Mama memasak, kata-kata Romi kembali terngiang di telingaku.
“Aku ingin angpau dari tetangga, bukan dari Mama,” protesnya. Mama salah, Romi bukan anak kecil lagi yang bisa dibohongi dengan memberikan uang kertas dalam amplop dan mengatakan dari tetangga. Tapi kembali, Mama tidak kehabisan akal, mungkin semangkok opor ayam akan membuat Romi tidak banyak menuntut.
“Rasanya beda, opor ayam Nenek lebih
enak,” lagi-lagi Romi protes. Ya, memang benar. Nenek punya trik khusus
dalam membuatnya. Anak seumuran Romi saja bisa merasakan hal itu, tapi apakah
Mama tetap dengan pendiriannya? Meskipun aku dan Romi kangen suasana lebaran
seperti dulu.
Sudah tiga kali lebaran tradisi keluarga
kami berbeda. Andai alat pemutar waktu memang ada, aku ingin kembali ke masa
tiga tahun silam. Lebaran bersama Kakek juga Nenek. Masa yang hangat
penuh keceriaan. Jika dulu Romi selalu menerima angpau saat lebaran,
silaturrahmi ke rumah tetangga kemudian dihidangkan kue juga semangkok opor
ayam. Namun, tiga tahun terahir ini berbeda.
Sebenarnya bukan masalah angpau ataupun
makanan. Namun, rasa hangatnya kebersamaan. Dulu setiap lebaran, Mama dan
Ayah selalu mengajak kami ke kampung halaman, maka kali ini berbeda. Mama lebih
memilih berkutat dengan usaha cateringnya sedangkan Ayah dengan bisnis
transportasinya. Sepertinya tidak akan ada lagi kebersamaan bersama Kakek dan
Nenek.
Aku perhatikan Mama sibuk memasukkan
beras ke selongsong ketupat. Aku jadi ingat Nenek, beliau yang mengajari Mama
menuang takaran beras yang pas untuk ketupat. Sedangkan Kakek punya dua
buah pohon siwalan di halamannya. Buahnya digunakan untuk isian dawet. Rasanya
kenyal dicampur dengan es dan gula aren. Membayangkannya bikin aku makin kangen
suasana di sana.
“Apa kita juga akan membuat menu masakan
Nenek seperti dulu di desa?” tanyaku mendekat.
“Tentu, opor ayam sama ketupat.” Jawab
Mama, sambil menghidupkan kompor.
”Kalau di rumah Nenek memasaknya pakai
kayu bakar, sedikit berasap, tapi Nadin suka” kataku. “Tidak ada es dawet
siwalan?” Mama hanya menghela nafas, kemudian menggeleng.
“Kau temani saja adikmu! Biar Mama tenang
memasaknya sendirian” keluhnya. Aku menghela nafas berusaha untuk kuat. Apa
hanya karena masalah harta Mama bertindak salah? Padahal hidup kami sudah lebih
nyaman dari pada kerabat kami yang ada di desa.
“Nadin hanya takut ketika berkeluarga
nanti tidak bisa lebaran bersama Mama, bukankah seorang anak dan orangtua juga
bisa berkonflik?” Kaget mendengar perkataanku, sendok yang dipegang Mama
terjatuh.
***
***
Setelah kata-kataku di dapur Mama
terlihat banyak merenung, tak banyak bicara denganku. Ia hanya duduk di beranda
rumah, seperti ada sesuatu yang dia pikirkan. Bahkan tidak seperti biasanya
Mama menyerahkan seluruh pekerjaan dapur pada karyawan.
Hingga suatu hari ada telpon dari rumah
Kakek dan Nenek yang membuat Mama menangis hingga jatuh terduduk. Sekarang
hingga tahun-tahun ke depan, tradisi lebaran kami tidak akan sama lagi. Namun,
kami berjanji tidak akan ada lagi masalah perebutan warisan yang merusak
hubungan dengan kerabat kami. Mama menyesal karena rasa keberatannya pada
keputusan Kakek dan Nenek dalam pembagian warisan membuatnya jauh dengan
mereka. Lebaran kali ini kami jalani dengan duka dan kembali tanpa Kakek-Nenek.
Di hari Lebaran ini juga aku harus menenangkan Mama yang sesenggukan di atas
pusara.
***
By: Amina Sy
Catatan: Cerpen ini terinspirasi
ketika aku tengah menonton berita saat Ramadhan. Tentang takjil buka puasa
dengan buah siwalan. Tapi gak kukirim waktu itu juga, soalnya aneh jadinya.
Hingga di ramadhan tahun berikutnya, jadilah percikan ini setelah rombak
sana-sini, lalu kirim. Pemuatannya cukup cepat, mungkin karena temanya
berkaitan. Kukirim awal-awal puasa lalu dimuat beberapa hari sebelum hari
lebaran.
Jika percikan MELAMUN tayang di GADIS 13,
percikan TRADISI LEBARAN tanyang di edisi berikutnya GADIS 14. Kulihat banyak
sekali yang dipangkas oleh redaktur. Kalau bukan karena Mbak Yulin yang
ngabarin, mungkin gak bakal tahu jika cerpen ini dimuat. Maka segera kutelpon
Kakak di Bali, minta dibelikan dua majalah sekaligus untuk oleh-oleh sepulang
mudik. Yeay... makasih kak udah ngerepotin. Aku gak nemu di Probolinggo, hiks...
Komentar
Posting Komentar